Sejak suaminya meninggal dua tahun lalu, Sulastri hidup dari berjualan kue basah di pasar pagi. Pendapatannya pas-pasan, kadang hanya cukup untuk makan harian. Namun ia selalu bilang pada Bagas, “Nak, kuliahmu jangan berhenti. Bapakmu ingin itu.” Ia selalu tersenyum saat mengucapnya, meski di dalam dadanya, kekhawatiran seperti benang kusut yang tak pernah selesai.
Hari itu, tenggat pembayaran tinggal tiga hari. Dan uang yang ia miliki bahkan tak cukup untuk setengahnya.
Pagi berikutnya, pasar berbau tanah basah setelah hujan subuh. Sulastri menata kue-kue jualannya: nagasari, cenil warna-warni, lemper yang ia buat dengan penuh kesabaran. Pembeli datang silih berganti, tapi tetap saja, penghasilan tak beranjak cukup.
Ketika ia sedang menata ulang baki kue, teriakan seorang perempuan memecah hiruk pikuk pasar.
“Copet! Dompet saya—tolong!”
Sulastri menoleh cepat. Seorang perempuan muda berlari mengejar lelaki berjaket hitam yang mencaplok tas tangannya. Tanpa berpikir panjang, Sulastri meletakkan bakulnya dan mengejar pelaku itu. Pasar penuh, tapi langkahnya masih lincah meski usianya lewat empat puluh.
Ia memotong jalur, menghalangi si copet, membuatnya tersandung oleh kaki meja pedagang sayur. Warga lain langsung membantu menangkap si pencuri. Perempuan muda itu terengah-engah, wajah pucatnya mulai berubah lega.
“Terima kasih, Bu… kalau dompet ini hilang, habis saya,” katanya.
Sulastri tersenyum, “Nggih, Mbak. Yang penting aman.”
Mereka berpisah tanpa sempat bertukar nama.
Dua hari kemudian, Sulastri duduk di ruang tamu kecilnya, menatap pesan dari Bagas:
Bu, kalau memang berat, aku bisa cuti satu semester. Gak apa-apa.
Sulastri menahan napas. Ada perih yang tak bisa ia jelaskan. “Tidak, Nak,” gumamnya pada udara. “Ibumu masih bisa berusaha.”
Pagi itu, ia kembali ke pasar dengan pundak yang semakin berat. Namun ketika baru membuka lapak, suara seseorang memanggil pelan.
“Bu… ibu masih ingat saya?”
Sulastri mendongak. Perempuan muda yang kemarin ia tolong berdiri di depannya, kali ini mengenakan pakaian rapi, bukan daster pasar.
“Lho, Mbak… sudah tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengangguk, lalu tersenyum. “Nama saya Diah. Saya dosen di Universitas Nusantara… tempat Bagas kuliah.”
Jantung Sulastri melonjak kaget. “Ibu kenal Bagas…?”
“Saya wali dosen di jurusannya,” jawab Diah lembut. “Saya ingin membalas kebaikan ibu. Kemarin kalau dompet saya hilang, bukan cuma uangnya yang habis. Ada kartu dan data yang penting sekali. Saya ingin mengucapkan terima kasih dengan benar.”
Ia mengambil amplop dari tasnya dan menyodorkannya pada Sulastri.
“Ini sedikit bantuan untuk pembayaran UKT Bagas. Saya sudah konfirmasi ke bagian keuangan. Ibu tinggal membawa kuitansi ini.”
Sulastri terpaku. Matanya membesar, lalu berkaca-kaca.
“Mbak… saya tidak minta balasan apa pun. Saya hanya—”
“Saya tahu,” potong Diah lembut. “Justru itu yang membuat saya ingin membantu.”
Sulastri menggigit bibir, berusaha menahan gemuruh di dadanya. Amplop itu terasa berat di tangannya, bukan karena jumlah uangnya, tapi karena kehangatan yang dibawanya.
Sore itu, Sulastri pulang dengan langkah yang berbeda. Dunia seolah lebih ringan, angin lebih lembut, dan matahari yang mulai turun seperti ikut menepuk bahunya, mengucap selamat.
Di rumah, ia menelepon Bagas. Suaranya bergetar, tapi ia tersenyum.
“Nak… UKT-mu sudah lunas.”
Hening sejenak di telepon, lalu suara Bagas pecah, “Bu… Ibu dapat dari mana?”
“Dari jalan lain, Nak,” jawabnya pelan. “Jalan yang tidak pernah Ibu sangka. Ada orang baik yang Tuhan kirimkan.”
Di seberang, Bagas menangis. Bukan sedih, tapi lega—sebuah lega yang ditopang oleh cinta seorang ibu dan kebaikan yang datang dari arah yang tak pernah mereka duga.
Malam itu, Sulastri menutup jendela dan memandang langit. Ia teringat suaminya.
“Mas… ternyata jalan lain itu selalu ada. Asal kita tidak berhenti percaya.”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dadanya terasa benar-benar lapang.
Posting Komentar untuk "Jalanlain : Hadiah yang Tidak Pernah Diminta"