Kekerasan Bukan Solusi (lagi)

jalanlain.com - Literasi. Saat jubah Rasulullah SAW ditiduri kucing, saking lembutnya hati beliau, jubah itu digunting agar bangkitnya beliau tidak membangunkan kucing. Kepada hewan saja begitu lembut akhlaknya, apalagi kepada manusia.

Bahkan Ali bin Abi Thalib ra, sahabat beliau, suatu ketika dalam peperangan berhasil menjatuhkan musuhnya. Lantas Ali ra mengayunkan pedang hendak membunuh musuhnya.

Tapi apa yang terjadi?

Musuh meludahi wajahnya dan itu membuat Ali ra memilih meninggalkan musuh itu, daripada membunuhnya.

Musuhnya bingung lantas berteriak, "kenapa kau tidak membunuhku?" Ali menjawab dengan lantang, "aku tidak mau membunuhmu karena marah. Aku berperang karena Allah."

Luar biasa!

Akhlak para sahabat buah didikan Rasulullah SAW.

Sekarang kita kembali ke negeri kita yang banyak hamparan sawah dan hutan, walau tidak seluas 20 tahun lalu. Entah 20 tahun nanti.

Di negeri kita, banyak pesantren yang menerapkan pemukulan atau kekerasan kepada santrinya dengan alasan mendidik.

Padahal santri sedang diolah pola pikirnya, dimana ada logika sebab akibat yang sedang diasah. Melakukan kekerasan untuk menaklukan logika sama saja membunuh logika itu.

"Aku disabet sama karet isi lem tembak, ini masih biru." Cerita seorang anak remaja sepulang dari G*, "pernah malam-malam para santri dikumpulkan di ruangan sempit dan disuruh push-up. Tapi karena ruangan sempit, 3 orang bertumpuk dengan posisi push-up." 

Mendidik anak adalah menyusun logika berfikir dan melatih empatinya. Sebab punya logika berfikir yang benar tapi miskin empati, tidak akan selaras dengan akhlak Rasulullah yang begitu lembut kepada kucing.

Tapi -sekali lagi- kekerasan membunuh logika berfikir dan rasa empati. Justru malah mencetak generasi yang keras lagi, kepada anak dan pasangannya kelak.

Siklus kekerasan terus berlanjut.

Saat ibunya mengadukan kepada saya dia berdalih, "saya memasukkan ke pesentren agar menjauh dari ayahnya. Sebab ayahnya keras, tangan dan kaki sering main juga saat memarahi anak. Sekarang ternyata di pesantren pun mengalami itu, bahkan rasanya lebih parah."

Saya merasakan kepedihan ibunya. Bela-belain menabung mengumpulkan uang untuk pendidikan terbaik anaknya, ternyata anak bukan cerita tentang hafalan Al Quran, atau hadits.

Malah pengalaman kekerasan yang dialami.

Sulit dipercaya anak-anak yang diperlakukan keras merasa bahagia, selalu saja memendam kemarahan. Lalu memendam kemarahan membuat pikiran tidak terbuka, sulit menerima pelajaran.

Belum lagi potensi kekerasan yang diturunkan ke anak-anaknya kelak, ke istrinya kelak, menjadi siklus kekerasan yang berlanjut. Menjadi masalah yang tidak berakhir.

Saya menimpali, "tanya anaknya, apakah masih mau ke pesantren atau tidak."

"Kalau anaknya gak mau?" Tanya ibunya.

"Beri kebebasan untuk tidak kesana. Sebab kita bukan sedang membuang anak, melainkan mencetak menjadi pemimpin yang cerdas berfikirnya, lembut hatinya, dan kekerasan bukan caranya."

Ibu itu diam dengan mata berkaca-kaca.

"Tapi, ibu mesti melakukan terapi, sebab vibrasi hati ibu tidak saja berdampak ke diri sendiri, tapi juga berdampak ke apa yang anak alami dan terima."

Saya menutup pembicaraan dan pamit.

Wallahu'alam
Ahmad Sofyan Hadi
Penulis Buku Reset Hati Instal Pikiran

Download Free Ebook "Temukan Mentalblock melalui Analisa Tanda Tangan ''

http://guruahmadfauzi.behindsign.com

🏡KELAS AFIRMASI ONLINE
Dengan visi besar "Memutus Rantai Kekerasan dalam Rumah Tangga"

Posting Komentar untuk "Kekerasan Bukan Solusi (lagi) "