Jalan Pulang yang Mengubah Cara Saya Melihat Hidup


jalanlain.com - Selalu ada inspirasi
. Saya tidak pernah benar-benar memperhatikan jalan pulang saya sendiri. Setiap hari saya melewatinya dengan tergesa-gesa—seperti dikejar sesuatu yang saya sendiri tidak tahu apa namanya. Mungkin target. Mungkin rutinitas. Mungkin hanya kebiasaan lama yang sulit diringankan. Sampai suatu sore, saya pulang sedikit lebih lambat dari biasanya. Dan entah kenapa, sore itu memberi saya sesuatu yang selama ini tidak saya minta: jeda.

Langit sedang muram-muram cantik. Tidak sepenuhnya gelap, tidak juga terang. Seperti sedang ragu-ragu ingin memilih warna mana untuk menutup hari. Saya berjalan tanpa terburu-buru. Bukan karena ingin menikmati suasana, tapi karena tubuh saya memang sedang kalah cepat dari pikiran sendiri. Mungkin hari itu saya sedang capek. Mungkin itu tanda dari hidup agar saya melambat sedikit.

Di sebuah bangku dekat pertigaan, duduk seorang lelaki tua. Tidak bermain ponsel. Tidak menatap apa pun. Ia hanya duduk. Diam. Sesekali tersenyum pada angin. Ada sesuatu yang janggal tapi menenangkan dari cara ia menikmati sore. Saya berhenti sejenak. Tidak lama. Tapi cukup lama untuk membuat saya bertanya: kapan terakhir kali saya duduk tenang seperti itu—tanpa gawai, tanpa rencana, tanpa target?

Jawabannya memalukan: mungkin sudah bertahun-tahun.

Saya melanjutkan langkah. Tapi langkah itu kini membawa pikiran saya ke tempat yang berbeda. Jalan yang sama, tapi cara memandangnya berubah. Saya baru sadar bahwa selama ini saya berjalan seperti robot yang baterainya tidak pernah diisi. Saya bekerja keras siang hari, lalu pulang dengan kepala penuh rencana besok. Tidak ada jeda untuk hari ini.

Saya berhenti di warung kecil yang selama ini hanya saya lewatkan. Warung itu sederhana sekali: papan kayu, termos tua, dan lampu bohlam yang cahayanya seperti malas menyala. Tapi justru di situ, saya merasa hidup saya sedang diperlambat dengan cara yang paling ramah. Saya pesan teh panas. Rasanya tidak istimewa, tapi entah kenapa, saya menikmatinya seperti menemukan kembali sesuatu yang sudah lama hilang.

Di bangku kayu itu, saya merasa seperti sedang kembali ke diri sendiri. Saya melihat orang-orang lewat. Ada yang tergesa. Ada yang tampak letih. Ada yang sibuk dengan ponselnya sambil hampir menabrak tiang listrik. Saya tersenyum. Mungkin saya seperti itu—atau lebih buruk.

Teh panas saya habis. Saya kembali berjalan. Jalan yang sama, tapi hati yang tidak sama. Ada rasa ringan. Ada ruang yang tiba-tiba terbuka di dalam pikiran. Ruang yang selama ini terlalu padat oleh “nanti apa”, “besok bagaimana”, dan “pekerjaan masih banyak”.

Saya pulang tanpa buru-buru. Tidak ada alasan untuk cepat-cepat. Hidup tidak menagih apa-apa malam itu. Dan entah mengapa, itu membuat saya merasa lebih manusia.

Sesampainya di rumah, saya tidak langsung menyalakan TV. Tidak membuka ponsel. Saya duduk sebentar. Diam. Persis seperti lelaki tua di bangku tadi. Baru malam itu saya sadar: pulang bukan cuma soal tempat. Pulang adalah proses kembali ke diri sendiri—yang selama ini sering saya tinggalkan di jalan.

Saya tidak mengatakan bahwa jalan pulang sore itu mengubah seluruh hidup saya. Tidak. Hidup jarang berubah dalam satu hari. Ia berubah pelan-pelan, lewat hal kecil yang tiba-tiba menampar kesadaran kita. Dan sore itu adalah salah satunya.

Sejak kejadian itu, saya mencoba melambat sedikit. Tidak banyak. Sedikit saja. Cukup untuk menikmati langkah. Cukup untuk memperhatikan angin. Cukup untuk tersenyum pada diri sendiri, tanpa alasan apa pun.

Ternyata hidup tidak meminta hal besar. Ia hanya meminta kita hadir.

Dan sering kali, yang mengubah cara kita melihat kehidupan bukanlah peristiwa besar—melainkan jalan pulang yang biasa-biasa saja, yang tiba-tiba memberi kita mata baru untuk melihatnya

Posting Komentar untuk "Jalan Pulang yang Mengubah Cara Saya Melihat Hidup"