jalanlain.com - Opini. Saya pernah bertemu banyak orang baik. Bukan sekadar baik di mulut, atau baik di media sosial. Orang-orang yang benar-benar berusaha berbuat baik. Yang salat tepat waktu, yang sopan pada orang tua, yang selalu membantu teman, yang tidak pernah membalas sindiran. Mereka begitu menjaga agar hidup tidak menimbulkan masalah bagi siapa pun.
Lalu saya menemukan satu kesamaan: mereka terlihat baik di luar, tapi kelelahan di dalam.
Mereka mengorbankan diri bukan karena cinta, tetapi karena takut mengecewakan. Mereka tidak membantah bukan karena setuju, tetapi karena takut dianggap tidak sopan. Mereka tersenyum bukan karena senang, tetapi karena takut membuat suasana canggung. Mereka meminta maaf bukan karena salah, tetapi karena ingin semua orang senang — kecuali dirinya sendiri.
Kita lupa satu hal:
menjadi baik tanpa batas justru membuat kita tersakiti tanpa batas.
Sejak kecil, kita dibimbing untuk menjadi “anak baik”. Nilai baik, perilaku baik, sikap baik. Kita disuruh mengalah demi orang lain. Kita diajarkan diam demi keharmonisan. Kita dipuji kalau “tidak merepotkan”. Pelajaran itu ikut sampai dewasa, tanpa kita sempat memeriksa apakah pelajaran itu sehat.
Hasilnya?
Banyak orang tumbuh menjadi manusia yang pandai mengabaikan dirinya sendiri.
Ada yang bertahan di hubungan yang tidak sehat karena takut dicap tidak setia.
Ada yang bekerja sampai sakit karena takut dianggap tidak loyal.
Ada yang memaafkan terus-menerus karena takut disebut pendendam.
Pertanyaannya:
sejak kapan kita menyamakan kebaikan dengan penghapusan diri sendiri?
Padahal, menjadi baik tidak sama dengan selalu membuat orang lain bahagia. Terkadang kita harus mengecewakan seseorang untuk tidak mengkhianati diri sendiri. Terkadang kita harus mengatakan “tidak” agar hati kita selamat. Terkadang kita harus pergi bukan karena tidak cinta, tapi karena kita pantas berada di tempat yang tidak menyakiti.
Ini bukan soal ego. Ini soal martabat.
Tidak ada kebaikan sejati bila dibangun di atas tubuh yang letih, hati yang patah, dan jiwa yang merasa tidak cukup. Kebaikan tidak seharusnya memaksa kita untuk hilang dari diri sendiri.
Menjadi baik itu mulia.
Tapi menjadi baik kepada diri sendiri — itu pondasi.
Pada akhirnya, kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Dunia tidak membutuhkan kita untuk menjadi manusia sempurna. Dunia hanya butuh kita tetap utuh. Dan itu dimulai ketika kita berhenti meminta maaf karena ingin menjaga diri.
Kadang batas terbaik bukan dinding, tetapi cermin:
siapa yang ingin kita bahagiakan hari ini — orang lain, atau diri sendiri yang selama ini diam?
Posting Komentar untuk "Menjadi Baik Tidak Harus Menyenangkan Semua Orang"